Rabu, 13 Juni 2012

MATERI KULIAH PRANATA HUKUM UNTUK MAHASISWA PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM UNIVERSITAS NUSA CENDANA KUPANG |DOWNLOAD DI SINI}

2 komentar:

  1. BUDAYA HUKUM DALAM KERANGKA SOSIO-KULTURAL
    MASYARAKAT NUSA TENGGARA TIMUR

    Dr. Karolus Kopong Medan, S.H,M.Hum
    Dosen Tetap pada Fakultas Hukum Undana


    Budaya hukum pada dasarnya memiliki peran yang sangat strategis dalam pembangunan hukum, baik pada tataran susbstansi maupun struktur hukum. Untuk itu diperlukan sinergisitas antara budaya hukum dengan komponen substansi dan struktur hukum agar tatanan hukum yang dibuat maupun ditegakan dapat diterima oleh masyarakat di mana hukum itu dibuat dan ditegakan. Catatan ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan mengingat bangsa Indonesia memiliki keragaman sosio-kultural, yang tentunya akan memberikan warna tersendiri bagi tatanan hukum di Indonesia. Atas dasar pemikiran yang demikian itu, maka perlu ditelusuri keragaman budaya hukum yang dimiliki oleh bangsa Indonesia untuk membantu para pembuat dan penegak hukum dalam membuat dan menegakan hukum sejalan dengan kerangka sosio-kultural masyarakat setempat. Tulisan ini secara spesifik mencoba mengkaji budaya hukum itu dalam kerangka sosio-kultural masyarakat NTT. Tatanan budaya hukum yang dimiliki oleh masyarakat NTT inilah yang akan menentukan apakah hukum yang dibuat dan ditegakan itu dapat diterima oleh masyarakat NTT atau tidak.

    Kata Kunci: Budaya Hukum, Substansi Hukum, Struktur Hukum, masyarakat NTT.

    BalasHapus
  2. SINOPSIS
    Tulisan ini berjudul “PARADIGMA SISTEM HUKUM ADAT PERKAWINAN MATRILINEAL DI KEDESAAN UMALOR KECAMATAN MALAKA BARAT DITINJAU DARI ASPEK KEADILAN SUATU KAJIAN FILOSOFIS”.
    Sebagaimana kita pahami bersama bahwa masyarakat hukum adat di NTT hanya mengenal dua sistem hukum ada perkawinan yaitu; sistem hukum adat perkawinan patrilineal dan sistem hukum adat perkawinan matrilineal. sistem hukum adat perkawinan matrilineal yang tersebut diatas hanya terdapat di dua Kabupaten yaitu Kabupaten Belu teristimewa Belu bagian Selatan dan Kabupten Ngada khusus di Bajawa Kota. Masing-masing sistem hukum adat perkawinan memiliki karakter khas. Yang sangat menarik bagi kita adalah paradigma sistem hukum adat perkawinan matrilineal di Kedesaan Umalor khususnya dari Kecamatan Malaka Barat. Karena sarana yang digunakan untuk mensahkan pernikahan adat adalah Daun Sirih mentah dan Buah Pinang, Sehelai Kain Putih dan Uang Perak (satu rupiah) logam belanda. Sarana tersebut menjadi syarat mutlak yang harus di penuhi oleh pihak sang pria calon suami pada saat upacara berlangsungnya perkawinan adat sebagaimana yang tersebut diatas. Kekhasan yang kedua adalah semua anak hasil perkawinan suami-istri dihitung menurut garis keturunan sang istri. Diantara sejumlah anak menjadi hak orang tua kandung dan hak orang tua sang istri kecuali satu anak entah pria atau wanita menjadi hak orang tua sang suami. Pihak sang istri wajib menyerahkan salah seorang anak yang menjadi hak orang tua sang suami/ayah apabila salah satunya meninggal dunia (seorang ayah/seorang ibu). Anak yang dimaksud dalam bahasa adat disebut Oa Mata Musan. Oa artinya anak, Mata artinya Mata, dan Musan artinya Biji. Jadi yang dimaksudkan Oa Mata Musan dalam hukum adat sistem perkawinan ini adalah anak biji mata sebagai pengganti kedudukan/pribadi sang ayah. Kedudukan anak yang bersangkutan sebagai pemersatu secara turun-temurun antara para pihak.
    Paradigma sistem tersebut dijiwai oleh sejumlah nilai filosofis seperti nilai cinta kasih sejati, persatuan dan kesatuan, kedamaian, keharmonisan, nilai religius, kedudukan martabat pribadi wanita sebagai simbol/tanda dewi kesuburan bumi yang memiliki kekuatan sakral supernatural yang dikenal dalam bahasa adatnya sebagai Liurai Lotu (Liurai Feto) penguasa bumi. Itulah sebabnya wanita diyakini sebagai sumber kegaiban pendingin kesaktian yang dimiliki oleh seorang pendekar/Meo. Dan sekaligus sebagai seorang imam yang bertugas mempersembahkan semua bentuk ritual adat dengan menggunakan sirih-pinang diatas loteng sakral dibawah tiang agung rumah adat (rumah pemali/Uma Lulik). Itulah sebabnya laki-laki harus meninggalkan orang tuanya untuk pergi bersatu dengan sang istri di rumah kediaman orang tua sang istri (paradigma sistem hukum adat perkawinan matrilineal). sistem tersebut sangat sesuai dengan rasa keadilan, kepastian hukum dan kebahagiaan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
    Penulis adalah Mahasiswa s2, program study Ilmu Hukum Pembangunan Universitas Nusa Cendana Kupang.

    BalasHapus